Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Dengan Indonesia Sustainable Palm Oil Untuk Meningkatkan Harga CPO Di Pasar Internasional
09.09.2019 (Majalah Sawit Indonesia (Blog)) - Tanaman kelapa sawit awalnya dibudidayakan sebagai tanaman hias. Adapun pembudidayaan tanaman untuk tujuan komersial baru dimulai tahun 1911. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yaitu Adrien Hallet, seorang Belgia. Budi daya yang dilakukan Adrien Hallet diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Lokasi perkebunan kelapa sawit pertama di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan NAD dengan luas areal mencapai 5.123 ha.
Sekarang ini pemerintah juga terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Tahun 1980, luas lahan perkebunan mencapai 294.560 ha dengan produksi Crude Palm Oil (CPO) sebesar 721.172 ton. Sejak itu, lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat, terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang melaksanakan program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR–BUN). Periode 1999—2009, pertumbuhan luas areal tanaman kelapa sawit perkebunan besar negara relatif kecil, yaitu rata-rata 1,73% per tahun. Adapun pertumbuhan terbesarnya, yaitu pertumbuhan perkebunan rakyat mencapai rata- rata 12,01% per tahun, sedangkan pertumbuhan perkebunan besar sekitar 5,04% per tahun. Saat ini luas areal perkebunan sawit di Indonesia didominasi Perkebunan Besar Swasta (PBS) dengan luas sekitar 3.893 ribu ha (49,75%) dari total areal nasional seluas 7.824 ribu ha. Sementara itu, yang diusahakan perkebunan rakyat (PR) sekitar 3.314 ribu ha (42,35%) dan selebihnya 616 ribu ha (7,9%) adalah milik PBN.
Semakin bertumbuh pesat nya lahan perkebunan sawit diIndonesia,ada beberapa masalah yang ditimbulkan diantaranya adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memperkirakan produksi sawit akan mencapai 51,7 juta ton pada 2025. Jika ini terus berlanjut, kondisi oversupply CPO bisa menimpa Indonesia pada 2030 mendatang.
Jika kelebihan produksi sawit bisa diserap oleh pasar, maka hal tersebut sangat baik untuk industri termasuk kesejahteraan petani. Di sisi lain, oversupply produksi sawit ini juga bisa mengakibatkan kelebihan pasokan yang pada akhirnya membuat harga jual produk ini menjadi lebih rendah. Hal ini lah yang terjadi sekarang ini banyak negara di Asia yang telah membuat kebijakan baru mengenai penerimaan ekspor CPO yang berasal Dari Indonesia yang dinilai tidak diproduksi secara baik dan benar.
Permasalahan tersebut meresahkan masyarakat yang berprofesi sebagai petani sawit di Indonesia maka dikembangkanlah kebijakan dari pemerintah yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan. ISPO dibentuk pada tahun 2009 oleh pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa semua pihak pengusaha kelapa sawit memenuhi standar pertanian yang diizinkan. ISPO merupakan standar nasional minyak sawit pertama bagi suatu negara, dan negara lain kini mencoba mempertimbangkan untuk mengimplementasikan standar serupa di antara produsen minyak sawit. Beberapa hal yang diterapkan dalam pembukaan lahan kelapa sawit baru sesuai prinsip ISPO yaitu:
- Tersedia SOP/ Instruksi atau prosedur teknis pembukaan lahan baru kelapa sawit.
- Pembukaan lahan dilakukan tanpa bakar dan memperhatikan konservasi lahan.
- Sebelum pembukaan lahan dilakukan, pelaku usaha wajib melakukan studi kelayakan dan AMDAL.
- Lahan tidak dapat ditanami dengan kemiringan <30%, lahan gambut dengan kedalaman < 3 meter dan hamparan lebih dari 70%; lahan adat, sumber air, situs sejarah dan sebagainya tetap dijaga kelestariaanya.
- Untuk pembukaan lahan gambut hanya dilakukan pada lahan kawasan budidaya dengan ketebalan gambut 3 meter, kematangan saprik (matang) dan hemik (setengah matang) dan di bawah gambut bukan merupakan lapisan pasir kuarsa atau lapisan tanah sulfat asam serta mengatur drainase untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
- Khusus untuk lahan gambut harus dibangun sistem tata air (water management) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Pembuatan sarana jalan, terasering, rorak, penanaman tanaman penutup tanah dalam rangka konservasi lahan.
- Tersedianya rencana kerja tahunan (RKT) pembukaan lahan baru.
- Kegiatan pembukaan secara terdokumentasi (dan pernyataan pelaku usaha bahwa pembukaan lahan dilakukan tanpa bahan bakar.)
Kebijakan Pemerintah Mengenai ISPO diharapkan dapat dijalankan dengan baik, demi keberlangsungan produksi sawit di Indonesia yang menjadi sumber penghasilan sebagain besar masyarakatnya,dalam hal ini juga berkaitan dengan cara budidaya sawit di Indonesia yang belum cermat untuk mencapai pertanian yang berkelanjutan dengan memperhatikan semua aspek terkecil hingga terbesar.
Seluruh aktor penggerak pertanian sawit sangat berpengaruh besar dalam keberhasilan dari kebijakan tersebut salah satunya adalah perusahaan yang akan berhubungan langsung dengan pasar internasional melalui penjualan CPO dunia yang lebih menghargai produk yang ramah lingkungan. Selanjutnya, sertifikasi ISPO akan dipakai untuk semua produk pertanian agar dapat berkembang dengan baik tanpa merugikan pihak lain.
Pengaruh kebijakan ini akan sangat besar kepada pertumbuhan ekonomi Indonesia, penghasilan masyarakat akan meningkat, hal ini mengakibatkan kesejahteraan juga ikut terbangun, pendapat negara bertambah dan kesenjangan sosial menurun. Maka perlunya kesadaran semua pihak untuk mengikuti prinsip ISPO tersebut demi keberlangsungan pertanian Indonesia dimasa yang akan datang. (*)
(Publikasi Naskah bagian kegiatan seminar PASPI)